Header Ads

Inilah Pesona Danau Asmara di Flores Timur


KAPOS - Danau Asmara bagaikan mutiara hijau di tengah Flores Timur yang kering. Airnya berpermukaan tenang, dikelilingi pepohonan rimbun yang tetap menghijau di tengah musim kemarau. Memandangnya menerbitkan kedamaian yang menelusup ke relung sanubari.

Danau ini bernama asli Waibelen, dari asal kata wai yang artinya ’air’ dan belen yang artinya ’besar atau luas’. Dengan demikian, waibelen dapat diartikan sebagai air yang besar atau luas. Danau ini mulai dikenal dengan nama Danau Asmara kira-kira sejak 1974. 

Sepasang kekasih yang tak direstui hubungannya karena masih memiliki pertalian keluarga nekat menenggelamkan diri di pusaran danau. Kisah mirip Romeo dan Juliet ini akhirnya mengilhami warga setempat menjuluki Danau Waibelen sebagai Danau Asmara.

Dari atas, danau ini tampak hampir bulat dengan diameter lebih kurang 1 kilometer.

Danau Asmara merupakan danau kaldera yang terbentuk dari letusan Gunung Sodoberawao pada 400-500 sebelum Masehi.

Berlokasi di Kecamatan Tanjung Bunga, tepatnya masuk wilayah Desa Riangkeroko dan Waibao, danau ini masih sangat alami.

Wilayah ini tampaknya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, tetapi sayang sepertinya belum banyak diteliti.

Sebuah cerita turun-temurun dipercayai warga setempat sebagai asal mula Danau Waibelen.

Seorang ibu meminta puntung api atau api nutok kepada tetangganya untuk menanak nasi. Karena hujan lebat, puntung api diantarkan dengan cara diikatkan pada ekor anjing.

Melihat kelucuan anjing yang ekornya bergerak ke kanan kiri dengan puntung api yang melekat, warga tertawa terbahak-bahak hingga muncul kilat dan petir menggelegar.

Tak lama terdengar suara gemuruh dari gunung di dekat desa itu. ”Gunung lalu roboh dan menyisakan kawah besar. Air hujan mengisi kawah menjadi danau,” kata Maksimus Masan Kian, guru SMPN 1 Lewolema, yang mendampingi perjalanan kami.

Tidak tampak ada pemanfaatan yang berarti pada danau, kecuali sepetak dua petak kecil di tepi danau yang ditanami aneka jenis sayur.

Di lingkar seputar danau dihiasi kebun yang ditanami pohon pisang, nanas, cokelat, serta pohon lain nonbudidaya.

Beragam jenis burung yang hinggap di permukaan air atau terbang hilir mudik menemani kami menikmati keaslian suasana danau.

Semilir angin yang membuai meredakan lelah setelah menuruni jalan setapak menuju danau.

Jalan setapak

Untuk menuju danau, dari tepi jalan raya kita masih perlu menuruni jalan setapak hingga lebih kurang 500 meter dengan jalan berbatu yang cukup curam sebelum menembus hutan kecil di tepi danau.

Jika tidak ingin susah payah melihat danau dari dekat, ada titik-titik di tepi jalan yang bisa digunakan untuk memandang danau secara keseluruhan dari ketinggian.

Lokasi danau ini sebenarnya hanya 45 kilometer di utara Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.

Namun, akses yang rusak membuat perjalanan yang semestinya bisa ditempuh dalam waktu 45-60 menit membengkak menjadi lebih dari dua jam.

Perjalanan menuju danau menawarkan pemandangan melihat kehidupan warga Flores Timur lebih dekat.

Kebun kacang mete, rumah-rumah warga berdinding bambu dengan atap rumbia, ladang yang kering, hingga sekolah dasar berdinding bambu yang kelas-kelasnya mulai rusak, seperti SD Filial Beda Lima Lamaojan di Desa Bahinga, Kecamatan Tanjung Bunga.

Di SD ini, satu ruang terpaksa dipakai untuk dua kelas. Para siswa duduk saling membelakangi menghadap guru masing-masing.

Cerita ini kami peroleh dari Maksimus ketika melewati SD tersebut yang terlihat kosong karena jam sekolah baru saja usai. Anak-anaknya pulang dan pergi sekolah dengan berjalan kaki.

Maksimus sebelum bertugas di Lewolema mengajar di SMP Negeri Satu Atap Riangpuho, Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, tidak jauh dari Danau Asmara.

Uniknya, meski di banyak tempat menyuguhkan pemandangan kekeringan, di beberapa area lain yang dilewati memperlihatkan petak-petak sawah tanaman padi yang menghijau.

Membahagiakan menyaksikannya, di saat sebagian besar sawah dan ladang yang kebanyakan tadah hujan tidak bisa ditanami selama musim kemarau, masih ada areal yang bisa digunakan bercocok tanam sepanjang musim.

”Daerah itu lokasinya bagus sehingga bisa mendapat air dari sungai lewat irigasi teknis,” kata Maksimus.

Tanpa listrik

Kampung-kampung di seputaran Danau Asmara belum dialiri listrik sehingga ada baiknya waktu keberangkatan menuju danau diatur sepagi mungkin agar tidak perlu terkena malam.

Meski belum terbangun sebagai obyek wisata, danau ini cukup sering dikunjungi warga Flores Timur, termasuk rombongan anak sekolah. Belum ada warung makan, apalagi homestay.

Sebuah toilet di tepi danau tampak terkunci tidak bisa digunakan.

Namun, tidak perlu terlalu khawatir, semua kendala itu akan tergantikan oleh keramahtamahan penduduk yang bersedia rumahnya dijadikan tempat beristirahat.

Di sekitar danau juga terdapat beberapa tempat menarik lainnya. Kira-kira sejam sebelum mencapai danau, kita akan melewati sepenggal pantai berpasir putih yang disebut Pantai Bluhu.

Dari pantai ini kita bisa menuju Pantai Painhaka yang keindahan pasir putihnya dari kejauhan seakan melambai-lambai memanggil untuk datang.

Pantai ini bisa dicapai setelah 30 menit naik perahu motor atau 1,5 jam berjalan kaki.

Selain keindahan pantai, di tempat ini juga bisa ditemukan prasasti Nopin Jaga dengan cap kaki Gajah Mada dan tulisan Sansekerta.

Dari pantai ini juga terlihat Batu Payung, yakni batu besar di tengah laut yang bentuknya seperti payung.

Di pantai ini juga terdapat tengkorak manusia kanibal. Usianya diperkirakan mencapai 4.000 tahun berdasarkan hasil penelitian pada 2010 oleh ilmuwan Perancis, Philippe Grange, dan JC Galipaud dari Universitas La Rochelle dan Institut de Recherchepour le Developpement.

Ditemukan pula periuk tanah, gelang tangan, dan kapak batu yang kini disimpan di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur.

Pantai Painhaka terletak di ujung barat Kecamatan Tanjung Bunga. Seorang pelaut Portugis bernama Antonio de Abreu yang tiba di ujung timur Pulau Flores pada 1512 melihat tanjung ini dipenuhi bunga flamboyan merah yang tengah bermekaran.

Ia lalu menyebutnya sebagai Cabo das Flores atau Pulau Bunga. Sebutan ini kemudian digunakan untuk menamai Pulau Flores. 

Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.